728x90 AdSpace

Terbaru
Diberdayakan oleh Blogger.
Senin, 14 Maret 2016

Buletin #61 Yuk Kita Lawan "Monster" Gaul Bebas

Monster? Iyes, pergaulan bebas layak kita sebut monster karena keberadaan faktanya yang bikin kita miris, merinding, begidig, atau apalah istilah yang pas buat menggambarkan kalo pergaulan bebas memang jadi momok. Dan kayaknya memang kita semua sepakat, kalo gaul bebas adalah hal yang musti kita waspadai bersama. Kalo boleh dibilang pake bahasanya orang kulon, gaul bebas is common enemy, alias musuh bersama.

 Darimana asal ‘monster’ gaul bebas?

Pergaulan bebas, utamanya di kalangan anak-anak muda bukan ujug-ujug saja ada di tengah pergaulan kita. Tapi melalui proses yang bisa dibilang cukup panjang, yang akhirnya membentuk dalam perilaku sehari-hari kita. Kalo dijelasin secara singkat, berawal dari cara berpikir yang sekuler alias memandang kehidupan nggak perlu ada aturan dari agama. Cara berpikir yang sekular ini adalah khas milik orang Barat, karena kalo cara pandang Islam terhadap kehidupan, malah justru sebaliknya. Islam dan aturannya kudu turut campur tangan mengatur kehidupan.

Trus dari cara berpikir sekuler itulah, lahir cara pandang tentang pergaulan laki-laki dan perempuan di masyarakat yang permisif alias serba boleh, alias free thinker. Akhirnya pergaulan atau hubungan cowok cewek hanya dilihat dari sisi seksualitas, kalo diibaratkan ayam, hanya ngeliatnya jantan-betina gitu aja.

Dan lihatlah hasil dari free thinker itu kita petik, hadir di tengah-tengah kita, mulai gaul bebas dengan lawan jenis berupa pacaran, selingkuh, kumpul kebo, sampai gaul bebas dengan sesama jenis yang disebut LGBT (Lesbian, Gay, Bisekssual, Transgender). Jadi meskipun virus pemikiran sekularisme berasal dari Barat, akan tetapi faktanya saat ini nggak bisa dibedakan lagi Barat dengan Timur, hampir seluruh negeri-negeri kaum muslimin terserang monster gaul bebas.

Kalo di Barat gaya gaul muda-mudinya yang kita bisa tonton di film-film Barat, nah di negeri kita bisa kita lihat gambarannya dari sinetron yang tiap hari tayang di teve, hampir nggak ada bedanya dengan di Barat. Aktivitas gaul bebas macam gandengan, pelukan, ciuman dengan pasangan ilegal mereka, sudah lumrah di negeri ini. Kalo nggak percaya, sobat SWI bisa gugling sendiri data-data tentang pergaulan bebas itu. Apalagi kalo dilihat faktanya di lapangan yang nggak terdata bisa lebih serem lagi.

Begitulah keberhasilan serangan peradaban Barat yang merangsek ke tubuh dunia Islam. Barat dengan paham sekularisme-nya telah nyata merasuki pemikiran kaum muslimin sehingga melunturkan pemahaman kita tentang kehidupan sehingga tolok ukur kita terhadap segala sesuatu diukur dengan azas manfaat atau nggak.

Sebagian besar kaum muslimin dibuat silau dengan keberhasilan peradaban Barat dari sisi fisik alias materi. Itulah yang oleh sebagian masyarakat disebut sebagai modernitas, karena itulah kalo kita ingin maju maka harus meniru Barat. Disamping memang Barat juga getol menjajakan ide-ide sekularisme terutama liberalisme alias kebebasan dalam soal pergaulan. Ya lagi-lagi lewat sarana fisik seperti film, televisi, internet, apalagi dengan kecanggihan teknologi dengan alasan globalisasi, semua yang dari Barat mudah sekali ditransfer ke negeri-negeri muslim.

Hapening macam Valentine’s Day sudah kayak jadi agenda yang wajib diikuti oleh teman-teman kita yang muslim, karena Barat berhasil mengkamuflase V-Day dengan hari kasih sayang, dan kasih sayang itu universal, karena universal maka nggak perlu dikait-kaitkan sama agama. Kira-kira begitulah argumentasi agar V-Day diterima oleh generasi di negeri-negeri muslim. Padahal kalo mau ditelusuri sejarahnya V-Day bukan berasal dari way of life Islam, dan pada praktiknya hapening V-Day nggak jauh-jauh dari aktivitas gaul bebas.

Gaul Bebas Lebih Terhormat dari Jomblo?

Istilah Jomblo, Single, Bujangan, Lajang, Loveless adalah nama yang berbeda untuk menyebut makna yang sama, yakni orang yang masih sendiri alias nggak punya gandengan –kayak truk aja ada gandengannya :D – alias belum nikah. Hanya saja mungkin dari segi citarasa kalo disebut jomblo kayaknya kurang sedap dibanding disebut single. Padahal mah cuman beda bahasa saja. Jomblo itu istilah lokal, sementara single itu istilah internasional. Jadi yang nggak mau disebut jomblo tapi maunya disebut single, itu sebenarnya ngarep biar dianggap modern alias menginternasional, hehe....

Yawis, nggak usah meributkan istilah jomblo atau single, intinya mah keduanya sama. Sekarang menjadi jomblo kayaknya suatu predikat yang harus segera dilepas dari diri seorang anak muda. Kenapa bisa gitu? Karena selain khawatir di bully oleh teman gaul  yang pacaran, menjadi jomblo juga predikat yang kurang terhormat. Being jomblo is not good, begitulah kira-kira menjadi jomblo sudah identik dengan suatu hal yang negatif. Lalu apa yang lebih terhormat? Gaul bebas, ya dalam pergaulan anak muda yang lebih terhormat dari jomblo adalah pacaran alias punya pacar.

Koq bisa ya? karena dalam kamus sekularisme, kita bebas untuk ngasih definisi baik-buruk, mulia-hina, akhirnya anak-anak muda mendefenisikan yang mulia adalah punya pacar, sementara menjadi jomblo adalah hina alias buruk. Begitulah, masyarakat suka kebolak-balik menstandari mana sesuatu yang disebut baik, dan mana yang disebut buruk. Apalagi kalo sesuatu yang seharusnya buruk menurut kacamata syariat, tapi karena terjadi pembiaran, akhirnya dianggap wajar. Karena wajar itulah akhirnya jadi boleh alias benar. Hal itu yang terjadi pada pacaran dan beberapa kasus yang lain.

Makanya yang nggak kalah penting adalah batasan atau standar apa yang dipakai untuk menyebut suatu aktivitas disebut salah atau benar, baik atau buruk, terpuji atau tercela, mulia atau hina, dan sebagainya. Analoginya kayak gini, kita sepakat menyebut semut itu kecil kalo diukur atau dibandingkan dengan gajah. Kita bisa mengatakan ular itu panjang kalo dibanding atau distandari dengan ulat. Itu wujud berupa benda, yang semua orang bisa mengindera, tapi kalo ukuran baik-buruk, terpuji-tercela nggak bisa sembarangan orang bisa ngasih standar. Kalo semua orang bisa dan boleh ngasih standar baik-buruk, benar-salah, maka bisa kacau. Sehingga  harus ada standar yang konstan alias baku untuk mendefinisikan baik-buruk, benar-salah, terpuji-tercela.

Standar yang konstan itu nggak ada yang lain kecuali datang dari yang menciptakan manusia dan segala jagat raya ini. Ya, Allah Swt yang berhak membuat standar itu. Standar dari Allah nggak akan membuat selisih dan nggak mungkin terjadi selisih, kecuali bagi orang yang nggak punya keyakinan (baca: iman) dan orang yang memang ingin menyimpang. Bagi orang seperti aturan yang tepat menurutnya adalah yang sesuai dengan hawa nafsunya.

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al Maidah 50)

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab 36)

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh-nya.” (QS. An Nisa 65).

Jadi kita kudu sepakat sebagai seorang hamba, sebagai mahluk dan sekaligus sebagai muslim bahwa aturan, standar, patokan yang konstan alias stabil yang kita pakai untuk mengukur baik-buruk, terpuji-tercela adalah aturan Allah swt, alias syariat Islam, bukan HAM!

Monster Gaul Bebas yang Tersembunyi

Selain aktivitas gaul bebas berupa pacaran, ada bahaya monster gaul bebas yang biasanya luput dari pembahasan, yakni berupa LGBTI – Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Intersex-. Ya memang fakta dan berita tentang LGBTI di negeri ini cenderung timbul tenggelam. Tapi beberapa fakta, data dan berita yang akhir-akhir ini beredar bahwa virus ini juga musti harus diwaspadai. Bahkan lebih parahnya, dengan show of force dari para pelaku LGBTI ini mengindikasikan mereka meminta pelegalan penyimpangan seksual ini.

Lagi-lagi Barat menjadi kiblat. Di negara macam Amrik legalisasi pernikahan sesama jenis sudah disahkan oleh Mahkamah Agung AS pada tanggal 6 Juni 2015. Bahkan PBB dengan didukung oleh dua belas lembaga bentukan PBB, seperti OHCHR (Komisi Perlindungan Hak Asasi Manusia), menyerukan Ending Violence and Discrimination against Lesbian, Gay, Bisexsual, Transgender dan Intersex People, alias mengakhiri diskriminasi dan kekerasan terhadap komunitas LGBTI.

Upaya pelegalan perilaku kaum Nabi Luth ini memang dipaksakan dengan dalih HAM. Jadi bukan hanya person, tapi sebuah negara kalo tidak memberikan hak kepada kaum LGBTI bisa juga dikenai sanksi HAM. Padahal kita tahu HAM itu yang membuat dan lahirnya dari Barat, artinya kalo memaksaskan LGBTI dengan dalih HAM, secara sengaja kita di westernisasialias di cuci otak kita untuk menerima sekularisme. Kalo HAM sudah dimenangkan maka alamat Islam dan syariatnya akan terpinggirkan, dan peringatan dari Allah SWT terhadap perilaku kaum nabi Luth yang pernah dihujani batu oleh Allah SWT (Q.S. al-A’raf 30-34, Q.S. Hud 7-8) tidak akan diindahkan oleh para pemuja HAM.

Padahal kalo para penggiat HAM dan LGBTI itu sedikit mikir, menikah sesama jenis, cowok menikahi cowok, atau cewek menikah dengan cewek, bisa berakibat punahnya jenis manusia. Karena gimana bisa seorang cowok hamil atau mengandung anak? Atau seorang cewek juga gimana bisa mengandung anak kalo tidak ada lelaki yang menghamilinya? Nah, kalo pemenuhan (naluri seksual) gharizah an-nau dengan cara seperti ini dibiarkan, sudah pasti jumlah kelahiran akan berkurang, jika jumlah kelahiran berkurang itu artinya sedikit demi sedikit jenis manusia akan bisa punah. Seperti yang ditakutkan negara-negara Barat dan Jepang dengan apa yang disebut lost generation. Karena generasi disana enggan untuk menikah, prinsip mereka “kalo pemenuhan seks bisa dipenuhi dengan tanpa ikatan, kenapa harus nikah?”. Makanya praktik LGBT, incest, samen liven, prostitusi menjadi pemicu berakhirnya generasi disana.

Yuk Kita Lawan!

Pertama, kita lawan dengan pemikiran dan dakwah Islam. “Lho dakwah itu kan bukannya cuman menyeru dan menyuruh, nggak ada aktivitas realnya?”Mungkin ada yang berseloroh kayak gitu. Maka, kita siapkan jawabannya bahwa dakwah itu aktivitas nyata. Dakwah memang kekuatannya di omongan, di kata-kata, tapi yuk coba kita lihat efek, dampak dari dakwah. Teman-teman bisa baca dan lihat, anak-anak muda di masa dakwah Rasulullah Saw di Mekah, salah satunya ada pemuda Ali bin Thalib yang berumur 8 tahun masuk Islam dan berdakwah bersama Rasulullah Saw. Dalam perjalanannya, Ali bin Abi Thalib jadi pemuda pilih tanding dalam medan perang, pemuda dengan tsaqofah yang mumpuni. Dalam salah satu ungkapannya Rasulullah Saw pernah menyampaikan “...kalau aku (Rasulullah Saw) adalah gudangnya ilmu, maka Ali bin Abi Thalib adalah pintunya”.

Dan masih banyak, deretan pemuda para sahabat Nabi Saw yang merupakan hasil gemblengan dakwah Rasulullah Saw masa itu. Jadi, kalo ada yang menyatakan dakwah itu bukan aksi nyata, sepertinya pernyataan harus benar-benar dikoreksi, karena selain pernyataan itu salah, bisa jadi pernyataan itu menjadi dalih untuk tidak berdakwah. Naudzubillah min dzalik.


Kedua, lawan yang seimbang kalo negara ya musuhnya negara. Jadi kalo negara-negara Barat dengan sekularismenya menyerang mulai dari pemikiran, budaya, bahkan pada fakta yang lain juga menjajah secara ekonomi, dan politik, maka lawannya juga harus negara. Kekuatan negara kalo cuman dilawan dengan organisasi, atau kelompok dakwah, ibaratnya ikan paus dilawan oleh ikan teri, jelas nggak seimbang. Maksudnya, kaum muslimin harus memiliki institusi yang memback up, memproteksi dan mengkomandoi kaum muslimin seluruh dunia agar bersatu dalam sebuah negara Daulah Khilafah yang menurut metode kenabian (ala minhajin nubuwah). Dengan institusi itu, serangan Barat salah satunya virus liberalisme pergaulan bebas bisa dilawan, bahkan berpotensi bisa menang. Sebagaimana faktanya di masa Rasulullah Saw dan para khalifah (penerus) setelahnya.Gimana sob,kamu setuju kan…[]
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Buletin #61 Yuk Kita Lawan "Monster" Gaul Bebas Rating: 5 Reviewed By: Smart With Islam Bandung

Powered by themekiller.com